BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembicaraan tentang
manajemen akhir-akhir ini hangat dibincangkan. Hal tersebut bukan saja
merupakan hal baru bagi dunia pendidikan. Sumber daya manusia merupakan unsure
aktif dalam penyelenggaraan organisasi. Sedangkan unsure-unsur yang lainnya
merupakan unsure pasif yang bisa diubah oleh kreativitas manusia. Dengan
pengelolaan (nanajemen) yang berkualitas, diharapkan akan dapat mengkondisikan
unsure-unsur yang lain agar bisa mencapai tingkat produktifitas suatu organisasi.
Memperbincangkan mengenai
lembaga pendidikan yang bernama madrasah, agaknya akan selalu menarik dan tidak
ada habis-habisnya. Terlebih yang dibicarakan adalah dari aspek manajemennya.
Karena manajemen dalam suatu lembaga apa pun akan sangat diperlukan, bahkan
disadari atau tidak sebagai prasyarat mutlak untuk tercapainya tujuan yang
ditetapkan dalam lembaga tersebut. Semakin baik manajemen yang diterapkan,
semakin besar pula kemungkinan berhasilnya lembaga tersebut dalam mencapai
tujuannya.
Demikian pula
sebaliknya Realitas di lapangan lembaga-lembaga pendidikan Islam
khususnya madrasah tingkat produktifitas masih jauh dari yang diharapkan. Dalam
makalah ini akan dibahas sekilas mengenai manajemen madrasah terkait dengan
problematika yang ada di dalamnya beserta dan pemecahannya beserta dengan
formulasi dalam pengembangan madrasah.
B. Rumusan Masalah
1.
Dapat mengetahui Pengertian Manajemen
2.
Dapat Mengetahui Pengertian
Madrasah/Sekolah
3.
Dapat mengetahui Sejarah Madrasah
4.
Dapat mengetahui Manajemen Madrasah
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui Pengertian Manajemen
2.
Untuk Mengetahui Pengertian
Madrasah/Sekolah
3.
Untuk mengetahui Sejarah Madrasah
4.
Untuk mengetahui Manajemen Madrasah
5.
Untuk Mengetahui Problematika
madrasah/sekolah
6.
Untuk mengetahui Cara mengatasi
Problematika madrasah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen
Manajemen berasal
dari kata "to manage" yang berarti mengatur, mengurus atau
mengelola. Banyak definisi yang telah diberikan oleh para ahli terhadap istilah
manajemen ini. Namun dari sekian banyak definisi tersebut ada satu yang kiranya
dapat dijadikan pegangan dalam memahami manajemen tersebut, yaitu Manajemen adalah suatu proses yang terdiri
dari rangkaian kegiatan, seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakandan
dan pengendalian/pengawasan, yang dilakukan untuk menetukan dan mencapai tujuan
yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya
lainnya.
Manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesi. Dikatakan
sebagai ilmu oleh Luther Gulick kerena menajemen dipandang sebagai suatu bidang
pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan
bagaiman orang bekerja sama. Dikatakan sebagai kiat karena manajemen mencapai
sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain menjalankan tugas.
Dipandang sebagai profesi kerena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk
mencapai suatu prestasi manajer, dan para profesional itu dituntut kode etik
tertentu.[1]
Menurut The Liang Gie manajemen adalah segenap
proses penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk
mencapai tujuan tertentu.[2]
Manajemen mencakup
kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan, dilakukan oleh individu-individu yang
menyumbangkan upayanya yang terbaik melalui tindakan-tindakan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Hal tersebut meliputi pengetahuan apa yang harus mereka
lakukan, menetapkan cara bagaimana melakukannya, memahami bagaiman mereka harus
melakukannya dan mengukur efektifitas dari usaha-usaha mereka. Selanjutnya
perlu menetapkan dan memelihara pula suatu kondisi lingkungan yang memberikan
respon ekonomis, psikologis, social, politis dan sumbangan-sumbangan teknis
serta pengendaliaannya. Manajemen merupakan sebuah kegiatan, pelaksanaannya
disebut managing dan orang yang melakukannya disebut manajer.
Dalam proses
manajemen terdapat fungsi-fungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang
manajer/pimpinan, yaitu : perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), pemimpinan (leading), dan pengawasan
(controlling). Oleh karena itu, manajemen diartikan sebagai proses
merencanakan, mengorganisai, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan
segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.[3]
Fungsi perencanaan
antara lain menentukan tujuan atau kerangka tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan tertentu. Ini dilakukan dengan mengkaji kekuatan dan kelemahan
organisai, menentukan kesemopatan dan ancamanya, menentukan strategi,
kebijakan, taktik dan program, semua itu dilakukan berdasarkan pengambilan
keputusan secra ilmiah.
Fungsi
pengorganisasian meliputi penentuan fungsi, hubungan dan struktur. Fungsi
berupa tugas-tugas yang dibagi kedalam fungsi garis, staf dan fungsional.
Hubungan terdiri dari tanggung jawab dan wewenag. Sedangkan strukturnya dapat
horizontal dan fertikal. Semuanya itu memperlancar alokasi sumber daya dengan
kombinasi yang tepat untuk mengkomplimentasikan rencana.
Fungsi pemimpin
mengambarkan bagaimana seorang manajer/pemimpi mengarahkan dan mempengaruhi
bawahanya, bagaimana orang lain melaksanakan tugas yang esensial dengan
menciptakan suasana yang menyenagkan untuk bekerja sama.
Fungsi pengawasan
meli[puti penentuan standar, supervise, dan mengukur penampilan/pelaksanaan
terhadap standard an memberikan keyakinan bahwa tujuan organisai tercapai.
Pengawasan sangat erat kaitanya dengan perencanaan, karena melalui pengawasan
efektivitas manajemen dapat diukur.
B. Pengertian Madrasah
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata
"keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa".
Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para
pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Dari akar
kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras" yang
mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat
belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai "rumah
untuk mempelajari kitab Taurat’.[4]
Kata "madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy,
dari akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca
dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar".
Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti
yang sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati
pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa
Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Secara teknis, dalam proses belajar-mengajarnya secara
formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di
Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan
diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama",
tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau
seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping
mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan
ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu
ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu
agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata
"madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah"
sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama"
atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
Istilah madrasah sebagai pendidikan Islam muncul dari penduduk Nisapur,
tetapi tersiarnya melalui menteri Saljuqi yang bernama Nizam al-Mulk, yang
mendirikan madrasah Nizammiyah. Selanjutnya Gibb dan Kremers menuturkan bahwa
pendiri madrasah terbesar setelah Nizam al-Mulk adalah Salahuddin al-Ayyfihi.
C. Sejarah Madrasah
Kelahiran madrasah ini tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap system
pesantern yang semata-mata menitikberatkan agama, di lain pihak system
pendidikan umum justru ketika itu tidak menghiraukan agama. Dengan demikian
kehadiran madrasah dilatarbelakangi olehkeinginan untuk memberlakukan secara berimbang
antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam pendidikan dikalangan umat
Islam. Atau dengan kata lain madrasah merupakan perpaduan system pendidikan
pesantreandengan pendidikan colonial.[5]
Sebagai lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya munculnya madrasah
mempunyai empat latar belakang, yaitu:
1.
Sebagai manifestasi dan realisasi pembaruan system
pendidikan Islam
2.
Upaya penyempurnaan terhadap system pesantren ke arah
suatu system pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan
yang sama dengan sekolah umum. Misalnya, masalah kesamaan kesempatan kerja dan
memperoleh ijazah.
3.
Adanya sikap mentalpada sementara golongan umat
Islam, khususnya santri yang terpaku pada Barat sebagai system pendidikan
mereka
4.
Sebagai upaya menjembatani antara system pendidikan
tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan system pendidikan modern dari
hasil akulturasi.
D. Manajemen Madrasah
Dengan adanya pengertian manajemen dan madrasah seperti diatas, maka
penulis menyimpulkan bahwa manajemen madrasah adalah segenap proses
penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia melalui
pemanfaatan sumber daya manusia ataupun non manusia untuk mencapai tujuan
madrasah agar efektif dan efisien.
Selama ini madrasah danggap sebagai lembaga pendidikan islam yang
mutunya lebih rendah dari pada mutu lembaga pendidikan lainnya, terutama
sekolah umum, walaupaun beberapa madrasah justru lebih maju dari pada sekolah
umum. Namun keberhasilan beberapa madrasah dalam jumlah yang terbatas itu belum
mampu menghapus kesan negative yang sudah terlanjur melekat.[6]
Ditinjau dari segi penguasaan agama, mutu siswa madrasah lebih rendah,
daripada mutu santri pesantren. Sementara itu, ditinjau dari hal penguasaan
materi umum, mutu siswa madrasah lebih rendah dari pada sekolah umum. Jadi,
penguasaan baik pelajaran agama maupun materi umum serba mentah (tidak matang).
Itulah yang menyebabkan Mastuhu menilai, “madrasah menjadi semacam sekolah
kepalang tanggung”.
Dari segi manajemen, madrasah lebih teratur dari pada pesantren
tradisional (salafiyah), tetapi dari segi penguasaan pengetahuan agama, santri
lebih mumpuni. Keadaan ini wajar terjadi karena santri tersebut hanya
mempelajari pengetahuan agama, sementara beban siswa madrasah berganda.
Demikian juga, menjadi wajar ketika dalam penguasaan pengetahuan umum, siswa
sekolah umum lebih menguasai daripada siswa madrasah karena beban siswa sekolah
umum tidak sebanyak siswa madrasah.
Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah terus digulirkan,
begitu juga usaha menuju ke kesatuan sistem pendidikan nasional dalam rangka
pembinaan semakin ditingkatkan. Usaha tersebut bukan hanya merupakan tugas dan
wewenang Departemen Agama, tetapi merupakan tugas bersama antara masyarakat dan
pemerintah. Usaha tersebut mulai terrealisasi terutama dengan dikeluarkannya
surat keputusan bersama (SKB) 3 mentri, antara Mentri Dalam Negeri, Mentri
Agama, dan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975, tentang
peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Adapun point-point SKB 3 mentri tersebut
adalah:
1.
Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan
nilai ijazah sekolah umum yang setingkat.
2.
Lulusan madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang
setingkat lebih tinggi.
3.
Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang
setingkat.
Dengan adanya SKB 3 Mentri tersebut bukan berarti beban
yang dipikul madrasah tambah ringan, tetapi justru sebaliknya, akan semakin
berat. Hal ini dikarenakan di satu pihak ia dituntut untuk memperbaiki kualitas
pendidikan umumnya sehingga setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah
umum. Di lain pihak ia harus menjaga agar mutu pendidikan agama tetap baik
sebagai ciri khasnya. Dengan adanya SKB 3 Mentri tersebut pendidikan agama pada
madrasah menjadi berkurang, karena madrasah-madrasah berlomba untuk menambah
materi pendidikan umum untuk mensejajarkan denan sekolah umum
Pada dasarnya, secara organisasional, madrasah merupakan
organisasi yang mengelola diri (self-organized) untuk tumbuh dan berkembang
sesuai dengan karakteristiknya. Dan pengelolaan diri ini dijalankan oleh para
pemimpin madrasah melalui sebuah mekanisme manajemen operatif. Namun, karena
madrasah di Indonesia merupakan sub sistem dalam makro sistem pendidikan
nasional dan tanggung jawab pengelolaannya dibebankan pada Departemen Agama,
maka pengelolaan diri madrasah secara individu tidak cukup memberikan dampak
perubahan yang signifikan dan luas bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat
muslim Indonesia saat ini. Hal tersebut karena kondisi madrasah yang yang
tergolong miskin dalam berbagai sumber, termasuk sumber daya manusianya dan
inilah salah satu poblem yang menyelimuti kehidupan madrasah.
Berbagai hal yang yang melatarbelakangi persoalan tentang
kelemahan manajerial madrasah adalah sebagai berikut:[7]
1.
Ketidakjelasan Misi, Visi dan Tujuan Madrasah
Dalam bukunya Total Quality Management in
Education, Edward Sallis mengemukakan bahwa dalam suatu organisasi tanpa
visi, maka perubahan tidak mungkin, tanpa misi maka perubahan bisa salah arah,
tanpa insentif, perubahan lama terjadi,tanpa sumber daya perubahan tidak akan
terwujud, dan tanpa fasilitas, maka perubahan hanya sedikit. Jika madrasah
telah mencanangkan misi dan visi yang jelas, maka tujuan tujuan akan muah
dicapai, dilaksanakan, dikontrol dan dievaluasi.
2.
Ketidakjelasan struktur dan Tata Kerja
Seringkali terjadi
tumpang tindih di lapangan antara wewenang yayasan dengan pengelola madrasah.
Salah satu konflik laten dalam pengelolaan madrasah adalah perbedaan
kepentingan antara pihak pengelola madrasah dengan yayasan. Yayasan sebagai
pemilik biasanya memiliki posisi tawar yang lebih, dan pada umumnya menggunakan
kekuasaannya untuk mengatur segala hal. Sebaliknya, madrasah cenderung tidak
atau kurang memiliki posisi tawar sehingga secarapsikologis menjadikan
pengelola madrasah tersubordinasikan.
3.
Kurangnya keterlibatan madrasah
Sebelum isu
desentralisasi pendidikan digulirkan dan lebih khusus lagi dengan adanya
pendidikan berbasis masyarakat, madrasah adalah salah satu model pendidikan
berbasis masyarakat yang telah lama ditengah-tengah masyarakat. Akan tetapi,
perkembangan selanjutnya madrasah yang didirikan masyarakat tersebut kemudian
mengalami kemandegan inilah problem klasik yang sering muncul. Ketika madrasah
sudah berdiri, maka keterlibatan aktif masyarakat untuk memikirkan nasib,
kelangsungan hidup (apalagi pengembangan dan kemajuan) madrasah relatif kurang
(kalau tidak bisa dikatakan tidak ada).
4.
Lemahnya jaringan (Network)
Banyak terjadi di
masyarakat kita, bahwa dalamsatu daerah tertentu terdapat beberapa madrasah
yang berdampingan tetapi belum bisa bergandeng tangan secara maksimal, yang
terjadi malah sebaliknya saling mematikan. Ini tentu saja salah satu faktor
rendahnya/lemahnya madrasah.
5.
Lemahnya manajemen
Kelemahan di bidang
ini boleh dibilang merupakan “wabah” yang menjangkiti sebagian besar madrasah.
Pendanaan terbatas, kurangnya sarana dan prasarana, lemahnya SDM dan minimnya
pengetahuan tentang organisasi dan tata kerja merupakan beberapa sebab yang
saling kait-mengkait.
Untuk mengatasi
problematika kelemahan madrasah di atas setidak-tidaknya ada tiga pendekatan
yang bisa ditawarkan, yaitu:[8]
1.
Islamisasi ilmu pengetahuan
Prof.dr. Muhammad Arkaum menganggap bahwa islamisasi IPTEK sebagai suatu
kesalahan, sebab hal ini dapat menjebak kita bahwa islam hanya semata-mata
sebagai idiologi (USA, 1991) terlepas dari adanya pro dan kontra mengenai
masalah ini, bahwa islamisasi ilmu merupakan conditio since quanon, bukan
berarti seorang insinyur harus menguasai tafsir, fiqih, ilmu hadits, dsb, namun
paling tidak ia berkepribadian sebagai seorang muslim sesuai nilai-nilai islam,
bertawakal dsb, demikian juga sebagai ustadz (ulama) sebagai alumni madrasah
harus menguasai iptek tetapi paling tidak menginsafi bahwa IPTEK adalah penting
bagi pengemangan ilmu pengetahuan itu sendiri dan juga diperintahkan oleh
agama. Usaha islamisasi ini tidak hanya akan menghiangkan dikotomi sistem
pendidikan kita, juga akan mengikis dikotomi lembaga pendidikan yang pada
gilirannya akan menghilangkan sikap dikotomi terhadap lembaga-lembaga
pendidikan seperti madrasah dengan sekolah umum sehingga kesan madrasah sebagai
sekolah “kelas dua” harus dihilangkan.
2.
Legalitas kelembagaan
Sebagai tindak lanjut islamisasi dari ilmu tadi, maka selanjutnya adalah
harus ada legalitas kelembagaan dan pengakuan profesional terhadap lembaga
pendidikan semacam madrasah. Sebanarnya legalitas kelembagaan ini sudah
tertuang didalam UUSPN.i No 2 tahunn 1989 namun baru tahap formalitas,
kenyataan dilapangan belum diakui 100% masih terdapat dikotomi terhadap
pengekuan profesionalisme antara alumni pendidikan umum dengan alumni madrasah
dalam kiprah membangun bangsa yang mayoritas penduduknya muslim ini. Karena itu
penataan secara substansial baik kurikulum dan kualitas pendidik menjadi sangat
esensial.
3.
Kurikulum pendidikan dan kualitas pendidik
Beberapa pergantian kurikulum dilakukan dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia, bagi madrasah terakhir adalah adanya
kurikulum berciri khas agama Islam yang menerapkan 10% pendidikan agama dan 90%
pendidikan umum. Kurikulum ini kiranya membawa angin segar bagi pengembangan
pendidikan Islam. Adapun yang menjadi ciri khas dari kurikulum jenis ini
adalah: (1) matapelajaran-matapelajaran keagamaan yang dijabarkan dari
pendidikan Islam (Qur’an, Hadits, Akidah Akhlak, Ibadah, Syari’ah, Fiqh dan
Sejarah Islam), (2) suasana keagamaan yang berupa suasana kehidupan madrasah
yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode dan pendekatan yang agamis
dalam setiap matapelajaran dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan
berakhlak mulia, disamping memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Dalam upaya meningkatkan kualitas output
madrasah juga perlu didukung oleh pemanfaatan pendidik yang berkualitas. Dengan
demikian persoalan keprofesionalan tenaga pendidik dalam madrasah sangat
diperlukan guna pengembangan madrasah ke arah yang lebih baik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian
kegiatan, seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakandan dan
pengendalian/pengawasan, yang dilakukan untuk menetukan dan mencapai tujuan
yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya
lainnya.
2.
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab
adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata
"darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai
"tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan
pelajaran".
3.
Manajemen madrasah adalah segenap proses penyelenggaraan
dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia melalui pemanfaatan sumber daya
manusia ataupun non manusia untuk mencapai tujuan madrasah agar efektif dan
efisien.
4.
Problematika madrasah antara lain Ketidakjelasan Misi,
Visi dan Tujuan Madrasah, Ketidakjelasan struktur dan Tata Kerja, Kurangnya
keterlibatan madrasah, Lemahnya jaringan (Network), Lemahnya manajemen.
5.
Untuk mengatasi problematika kelemahan madrasah di atas
setidak-tidaknya ada tiga pendekatan yang bisa ditawarkan, antara lain Islamisasi
ilmu pengetahuan, Legalitas kelembagaan, Kurikulum pendidikan dan kualitas
pendidik.
B. Saran
Demi
kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran pembaca khususnya kepada dosen
pembimbing Manajemen Madrasah/Sekolah yang bersifat membangun sangat kami
harapkan, agar pembuatan makalah selanjutnya jauh lebih baik dari makalah ini.
Kami
sebagai penyusun memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam
penyusunan makalah ini. Atas kritik, saran dan perhatiannya kami ucapkan terima
kasih.
[2] Suharsimi Arikunto, Lia Yuliana, Manajemen
Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta, 2008), hal. 3
[4]
http://citraedukasi.blogspot.com/2007/12/implementasi-tqm-di-madrasah.html
[5]
Sunhaji, Manajemen
Madrasah, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006), hal. 74
[6]
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,
(Jakarta: Erlangga, 2007), hal.80
[7]
Sunhaji, Manajemen
Madrasah, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006), hal. 84
[8]
Ibid, hal. 80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar